Untuk Gas, Medan Masih Bergantung pada Aceh


OLEH Prof. Dr. APRIDAR, S.E., M.Si., Rektor Universitas Islam Kebangsaan Indonesia, Bireuen dan Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Malikussaleh, melaporkan dari Kota Lhokseumawe

KEBUTUHAN energi gas Sumatra Bagian Utara (Sumbagut) hingga kini masih dipasok dari Aceh. Distribusinya melalui pipa yang ditanam sedalam 2 meter dari permukaan tanah sepanjang 234 kilometer dari Kota Lhokseumawe hingga ke Belawan, Medan.

Gas tersebut, sebelum diregasifikasi, dibeli oleh PT Perta Arun Gas dari PT Tangguh LNG Papua dan PT Donggi Senoro LNG Sulawesi. Setiap tahun jumlahnya 19 kargo. Kemudian, disalurkan ke Medan sekitar 10 million standard cubic feet per day (MMSCFD), di samping untuk konsumsi masyarakat Aceh sendiri hanya 0,5 MMSCFD.

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sumbagut tidak bisa menggunakan gas alam langsung sebelum dicairkan oleh PT Perta Arun Gas. Dengan menggunakan instalasi “existing” dari PT Arun yang telah berumur 40 tahun lebih, gas alam yang dibeli dari Papua dan Sulawesi itu diolah menggunakan air laut yang telah didinginkan hingga minus 160 derajat Celsius, sehingga membuat gas alam menjadi cair dan dapat dialirkan melalui pipa yang telah dipasang ke berbagai tempat hingga ke Belawan.

Regasifikasi wilayah Aceh dan Sumbagut hanya terdapat di Lhokseumawe yang dilakukan oleh PT Pertagas. Perusahaan ini mengoperasikan terminal penerimaan dan regasifikasi liquid natural gas (LNG) di Arun Lhokseumawe, Aceh. Pada akhir tahun 2016 fasilitas tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan energi untuk pembangkit listrik dan industri di Aceh dan Sumut hingga 43.815 billion british thermal unit per day (BBTUD).

Untuk bisnis tersebut telah dilakukanregasifikasi dengan customer utama adalah PT PLN di mana LNG dibawa oleh LNG kargo untuk kemudian di-unloading ke tanki LNG. Selanjutnya, dari tanki LNG, gas tersebut dialirkan ke “open rack vaporizer” untuk proses regasifikasi hasil gas. Kemudian, regasifikasi disalurkan untuk kebutuhan “power plant” Aceh Utara dan Belawan, milik PLN.

Dari hasil proses pengiriman gas alam cair itu, PT Perta Arun Gas memperoleh pendapatan yang disebut sebagai “toll fee” sebesar US$2,5 per kubik. Dengan pembelian gas alam sebesar US$4,5 per kubik (harga subsidi yang diberikan pemerintah kepada PLN) maka PLN Sumbagut harus mengeluarkan US$7 untuk bahan bakar gas per kubik yang digunakan untuk menghidupkan listrik.

Harga yang dibayar untuk pembangkit listrik pada dasarnya sudah termasuk murah, tetapi harga gas yang dijual ke Pemerintah Cina jauh lebih murah lagi, yaitu US$1 sejak pemerintahan Ibu Megawati. Saat negara dipimpin oleh Bapak Susilo Bambang Yudhoyono harganya sudah dapat dinaikkan menjadi US$2 hingga US$3. Namun, hingga sekarang harga tersebut masih lebih murah dibandingkan yang dibeli oleh perusahaan listrik negara, yaitu US$4,5.

Sebetulnya, pabrik excisting regasifikasi dari PT Arun Lhokseumawe rencananya akan dialihkan ke Medan, Sumatera Utara. Namun, berkat kegigihan dari Presiden Direktur PT Arun, Iqbal Hasan Saleh ketika itu–ditambah dukungan dari Dr Mustafa Abubakar yang saat itu menjabat Menteri BUMN–kilang regasifikasi itu tetap berada di Aceh. Hal ini membuat Aceh masih punya proyek vital milik negara yang kemudian diberi nama PT Perta Arun Gas. Kepemilikan sahamnya 90 persen oleh PT Pertamina Gas dan 10 persen dari PT Pertagas Niaga. Kantor pusat Perta Arun Gas berada di Gedung Patra Jasa Lantai 1 Jalan Gatot Subroto Kav 32-34 Jakarta dengan Plant Site Jalan Medan- Banda Aceh, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe.

Kehadiran perusahaan berskala nasional tersebut membuat perekonomian Aceh pascaberoperasinya PT ExxonMobil diperkirakan terjun bebas, tapi ternyata masih dapat bergerak dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sekitar 5 persen setiap tahunnya.

Suplai gas untuk PT Pupuk Iskandar Muda (PT PIM) Persero yang akan dilakukan oleh PT Medco di Aceh Timur sebesar 30 MMSCFD juga harus menggunakan pipa serta proses regasifikasi dari PT Perta Arun Gas. Rangkaian proses produksi tersebut merupakan bagian dari rangkaian “business plan” yang turut menyumbang terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi Aceh.

Potensi lain yang belum disentuh dan sebetulnya amat luar biasa adalah energi dingin yang mencapai minus 160 derajat Celsius untuk dijadikan “cold storage” atau tempat penyimpanan ikan saat petani panen raya agar harga ikan tak merosot. “Untuk itu, sangat penting dibuatkan alat penyimpanan tersebut,” ujar seorang petani yang berada di seputaran PT Perta Arun Gas.

Selain penyimpanan, tentu akan lebih lengkap lagi apabila pemerintah daerah mau menghadirkan pabrik pengolahan serta pengalengan ikan di Kota Lhokseumawe. Apalagi mengingat, tiga pelabuhan besar yang berstandar internasional berjejer di kota ini, yaitu PT Perta Arun Gas, PT PIM, dan Pelabuhan Kreung Geukueh. Ketiga pelabuhan tersebut belum digunakan secara optimal untuk kegiatan bisnis transportasi. Infrastruktur yang begitu lengkap tersebut sangat disayangkan karena belum digunakan dengan optimal dan terprogram dengan baik, sehingga kehidupan di seputaran pelabuhan masih sepi dari transaksi pengiriman barang.

Jasa operasional dan pemeliharaan “LNG Filling Station” di mana gas alam cair milik PT Pertagas Niaga dari tanki LNG disalurkan ke iso tank truck untuk kemudian disalurkan ke beberapa industri di Sumut dan konsumen pengguna gas lainnya masih belum optimal. Dengan belum banyaknya perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan gas alam membuat jasa tersebut masih sedikit.

Begitu juga terhadap jasa operasional dan pemeliharaan kilang PHE NSO-NSB dan gas dari NSO serta NSB di-treating di kilang PHE NSO-NSB di mana selanjutnya gas hasil proses akan dialirkan ke PT KKA, PT PIM, beberapa industri di Sumut, dan jaringan gas di Lhokseumawe masih sangat terbatas.

Sejauh ini, kebutuhan gas masyarakat dan PLN Sumbagut lebih banyak menggunakan gas yang disalurkan dari Aceh, sehingga ketergantungan Medan terhadap Aceh dari segi pasokan gas sangatlah tinggi. Namun, PLN Sumbagut mengirimkan kembali arus listrik tersebut melalui sistem saluran udara tegangan ekstratinggi (Sutet) ke Aceh.

Pola kebijakan yang memosisikan Medan sebagai pusat perputaran perekonomian secara regional menjadikan daerah tersebut makin tinggi pertumbuhan ekonominya. Ketergantungan Aceh kepada Medan jauh lebih besar dibandingkan ketergantungan Medan terhadap Aceh. Dengan kata lain, Aceh dijadikan sebagai pasar yang sangat potensial untuk penyaluran berbagai produk yang berasal dari Medan.

Berbagai kebutuhan, seperti alat-alat bagunan, beras, terigu, telur ayam, paku, tripleks, jarum plus benang saja pun, Aceh sepenuhnya bergantung pada Medan. Walaupun banyak hasil sawah padi berasal dari Aceh, di mana gabah tersebut dijual ke Medan dan kemudian pengusaha Medan menggunakan kilang sederhana mengolah padi menjadi beras berkualitas (ramos), kemudian dijual kembali ke Aceh. Sehingga, nilai tambah yang lebih banyak dinikmati oleh pengusaha Medan. Hanya kebutuhan gas sebagai energi yang masih dipasok Medan dari Aceh, yang membuat Medan belum mampu memenuhi kebutuhan rutin dari energi tersebut. Sedangkan untuk komoditas lain pada umumnya Acehlah yang sangat bergantung kepada regional Medan.

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Untuk Gas, Medan Masih Bergantung pada Aceh

0 Response to "Untuk Gas, Medan Masih Bergantung pada Aceh"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel