Sejarah saat Presiden Soekarno Menangis, Harus Tandatangani Surat Hukuman Mati untuk Sahabatnya
Setelah merdeka, sejarah Indonesia mencatat sejumlah pemberontakan yang sempat terjadi.
Diantaranya pemberontakan yang terjadi setelah Perjanjian Renville ditandatangani.
Kenapa sampai muncul pemberontakan karena perjanjian ini?
Perjanjian Renville merupakan satu dari sejumlah upaya diplomasi yang dilakukan Indonesia untuk menyelesaikan konflik dengan Belanda pasca Proklamasi Kemerdekaan.
Ketika itu, Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia, bahkan ingin kembali berkuasa.
Namun, apa yang disepakati dalam perjanjian yang ditandatangani pada 19 Januari 1948 ini justru membuat rakyat Jawa Barat kecewa.
Salah satu isi Perjanjian Renvillle yaitu bahwa wilayah Indonesia yang diakui Belanda hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera.
Jawa Barat tidak termasuk dalam wilayah yang diakui.
Bahkan disepakati bahwa Tentara Indonesia harus ditarik mundur dari daerah-daerah kekuasaan Belanda.
Pemberontakan pun terjadi di Jawa Barat yang kemudian kita kenal sebagai pemberontakan Darul Islam Indonesia/Tentara Nasional Indonesia (DI/TII).
Sosok pimpinan pemberontakan DI/TII sendiri adalah salah satu sahabat Presiden Soekarno.
Dia adalah Kartosuwiryo, salah satu kawan dari Soekarno kala masih menimba ilmu dan mondok di rumah HOS TJokroaminoto di Surabaya pada tahun 1918-an.
Ketika akhirnya keputusan eksekusi dijatuhkan pada Kartosoewirjo yang juga seorang pejuang kemerdekaan ini, konon Presiden Soekarno menangis.
Saat itu, dialah yang harus menandatangani surat hukuman mati pria bernama lengkap Sukarmadji Maridjan Kartosoewirjo tersebut.
Pemberontakan DI/TII sendiiri punya tujuan untuk mendirikan Negara Islam (NII).
Kartosoewirjo memproklamasikan hadirnya NII sebagai negara melalui maklumat pemerintah No II/7.
Dalam maklumat disebutkan bahwa 17 Agustus 1945 adalah akhir masa kehidupan Indonesia.
Kartosoewirjo memantapkan keputusannya untuk mengklaim seluruh wilayah Indonesia sebagai kekuasaan dari NII.
Ide Kartosuwiryo kemudian diikuti oleh daerah-daerah lainnya, membuat pergerakan DI/TII semakin meluas di Indonesia, membuat pemberontakan ini semakin sulit ditumpas.
Untuk menumpas pemberontakan yang dipimpin Kartosoewirjo, operasi militer diluncurkan.
Misi itu dijalankan oleh Yonif Linud 328 Kostrad.
Operasi terhadap gerakan yang menamakan diri DI/TII ini menjadi operasi militer yang istimewa bagi Yonif Linud 328 karena berlangsung di wilayah sendiri.
Dimulai tahun 1948 hingga 1962, itu termasuk operasi yang panjang karena begitu banyaknya daerah yang telah dikuasai oleh DI/TII.
Upaya Yonif Lanud 328 dan satuan Divisi Silliwangi untuk meredam DI/TII dilakukan secara bertahap.
Penyergapan terhadap pimpinan DI/TII SM Kartosoewirjo menjadi operasi paling terakhir dan dikenal dengan nama Operasi Barata Yudha dengan target menumpas DI/TII hingga ke akar-akarnya.
Upaya untuk menangkap Kartosoewirjo terjadi pada 2 Juni 1962 di kawasan kaki gunung Gede-Pangrango, Pacet, Jawa Barat.
Baku tembak sengit terjadi dalam upaya penangkapan tersebut, membuat gerombolan Kartosoewirjo akhirnya terdesak dan menyerah.
Tertangkapnya Kartosoewirjo merupakan puncak prestasi bagi Yonif Linud 328 dalam rangka menumpas DI/TII sekaligus mengakhiri aksi pemberontakan tersebut.
Pada 16 Agustus 1962, Kartosoewirjo dijatuhi pidana mati oleh Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper).
Lalu pada 4 September 1962, sekitar pukul 05:50 WIB, hukuman mati terhadap Kartosoewirjo dilaksanakan.
Eksekusi tersebut dilaksanakan oleh sebuah regu tembak di sebuah pulau di sekitar Teluk Jakarta.
Artikel ini telah tayang di https://jateng.tribunnews.com/ dengan judul "Sejarah saat Presiden Soekarno Menangis, Harus Tandatangani Surat Hukuman Mati untuk Sahabatnya"
0 Response to "Sejarah saat Presiden Soekarno Menangis, Harus Tandatangani Surat Hukuman Mati untuk Sahabatnya"
Post a Comment