Digital Farming Minimalkan Risiko Gagal Panen, Tanam Padi dan Cabai Kini jadi Lebih Mudah

SERDANGBEDAGAI - Petani di banyak daerah di Indonesia, masih kerap mengalami penurunan produktivitas pertanian. Kurangnya akses informasi petani terhadap ketidakpastian iklim dan cuaca menjadi beberapa penyebabnya.

Berbagai cara dilakukan pemangku kepentingan untuk mengatasi kendala tersebut. Satu diantaranya adalah dengan menerapkan program digital farming.

Program digital farming dimaknai sebagai program agar petani dapat mengelola sektor pertanian dengan berbasis bantuan digital agroteknologi. Dengan digital agroteknologi ini, petani dapat menggunakan berbagai teknologi dan aplikasi untuk meminimalkan risiko yang ada. Diantaranya memungkinkan petani untuk memprediksi kemungkinan hujan, serangan hama dan penyakit.

Dua kabupaten di Sumatera Utara yakni Kabupaten Serdang Bedagai dan Batubara berkesempatan menerapkan program ini sejak awal Oktober 2020 lalu. Lewat dukungan Bank Indonesia melalui Program Sosial Bank Indonesia (PSBI), dua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) mendapat bantuan pengadaan alat sensor tanah dan cuaca yang diberi nama RiTx (baca: Ritex).

Di Kabupaten Serdang Bedagai, BI KPw Sumut bermitra dengan Gapoktan Sri Karya yang berada di Desa Pematang Sertak, Kecamatan Teluk Mengkudu, Serdang Bedagai. Sedangkan di Batubara bermitra dengan Gapoktan Suka Karya Tani yang berlokasi di Desa Lubuk Cuik, Kecamatan Lima Puluh Pesisir, Kabupaten Batubara.

Ketua Gapoktan Sri Karya, Parlan Sibarani mengatakan, permasalahan pupuk atau ramalan cuaca sangat menentukan hasil pertanian. Terlebih cuaca, memegang peranan penting yang menentukan kapan cocoknya petani memulai musim tanam. Sementara itu, prakiraan yang dilakukan oleh BMKG hanya sampai pada tingkat kabupaten atau kota dan kurang tepat sebagai acuan pertanian mengingat dalam jarak dua kilometer cuaca yang terjadi dapat berbeda.

“Masa mulai tanam menjadi titik yang sangat penting agar hasil panen nantinya sesuai dengan perkiraan dan harapan. Informasi inilah yang bisa kami dapatkan dengan menerapkan program digital farming ini,” kata Parlan kepada Tribun-Medan.com, Minggu (18/8/2021).

Parlan menjelaskan, program digital farming menggunakan bantuan peralatan sensor tanah dan cuaca RiTx dan ponsel berbasis android. Di ponsel ini nantinya, diunduh aplikasi RiTx Bertani. Khusus untuk peralatan RiTx yang berbentuk kotak, akan ditempelkan di sebuah tiang besi dan selanjutnya ditanam (dipasang) di lokasi lahan yang cocok dan dapat dijangkau.

RiTx merupakan produk software yang berada dibawah PT Mitra Sejahtera Membangun Bangsa (MSMB) yang berdiri sejak 2018. Aplikasi ini merupakan kerjasama MSMB dengan Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) untuk mendorong digital farming di berbagai wilayah Indonesia. RiTx Bertani memiliki konsep Smart Farming 4.0 dengan menggunakan alat sensor untuk melakukan pengambilan data secara real-time pada lahan pertanian dan perkebunan.

Data yang didapatkan berupa cuaca, suhu, kelembaban, kekuatan angin, hingga PH tanah dan kesuburan. Data tersebut selanjutnya menjadi informasi yang akurat bagi petani yang dapat diakses melalui aplikasi RiTx Bertani. Petani akan lebih mudah mengetahui kapan menambahkan air dan pupuk hingga informasi cuaca saat itu. Selain, RiTx Bertani juga menyediakan fitur identifikasi hama menggunakan Artificial Intelligence (AI) dan fitur edukasi dari mulai proses tanam hingga end to market (proses penjualan hasil tani).

Sebelum penerapan digital farming, kata Parlan, rata-rata produksi padi petani Gapoktan Sri Karya sebanyak 5,5 hingga 6,5 ton per hektar. Tetapi dengan penerapan digital farming yang didukung pendampingan dan pelatihan dari pemerintah seperti Bank Indonesia dan Dinas Pertanian,  produktivitas pertanian semakin meningkat.

“Kami sudah dua kali panen sejak menerapkan digital farming ini. Untuk padi konvensional, setiap hektare kini mencapai 7 ton. Sedangkan padi organik mencapai 6,8 ton per hektare dari sebelumnya 6,2 ton per hektare,” katanya.

Tak hanya meningkatkan produktivitas pertanian, penerapan digital farming juga menekan biaya produksi untuk setiap hektare lahan. Jika sebelumnya, biaya produksi satu hektare mencapai Rp 12,5 juta, maka setelah penerapan digital faming, biaya produksi bisa ditekan menjadi Rp 11,2 juta per hektare. Penghematan paling banyak, kata Parlan diperoleh dari pemupukan. Dengan informasi yang disampaikan RiTx, petani tahu kapan harus melakukan pemupukan. Selain itu, ketika kondisi pH tanah berada di kisaran yang normal, maka tidak perlu menggunakan pupuk berlebih.

Penghematan lainnya diperoleh karena jadwal pola tanam dilakukan dengan tepat karena RiTx memberikan informasi curah hujan. Curah angin dan hujan rendah menjadi waktu yang tepat melakukan penanaman. Kalau penanaman dilakukan saat curah hujan tidak mendukung, maka produktivitas pertanian tidak maksimal.

“Dengan digital farming ini, petani menjadi lebih mudah menanam padi. Semuanya proses pertanian sudah bisa diprediksi. Dengan begitu, gagal panen pun dapat diminimalisir,” katanya.

Parlan menambahkan, saat ini ada 670 petani yang tergabung dalam Gapoktan Sri Karya. Keberadaan dua alat sensor tanah dan udara mampu menjangkau lahan pertanian yang dikelola 214 orang. Tetapi karena keterbatasan ponsel android, saat ini masih 52 petani saja yang mengakses aplikasi RiTx Bertani.

“Kami tetap berupaya memperluas aksesnya. Kalau petaninya tak punya ponsel android, pengurus Gapoktan menyarankan dapat menggunakan ponsel milik anaknya. Untuk penggunaan tidak begitu sulit. Mayoritas petani dampingan kami dapat mengoperasikannya dengan baik,” terang Parlan.

Sementara itu, pengurus Gapoktan Suka Karya Tani, Kamsir mengatakan, terdapat enam kelompok tani di bawah naungan Gapoktan Suka Karya Tani dengan jumlah anggota mencapai 414 petani. Sedangkan luas lahan yang dikelola seluas 186 hektare dengan sistem irigasi teknis, yang terdiri terdiri dari luas baku padi sawah 101 hektare dan luas baku lahan cabai 85 hektare. Dengan dukungan dua alat sensor tanah dan udara, sekitar 50-an petani telah menerapkan digital farming ini untuk pertanian cabai.

Dikatakannya, potensi sumber daya manusia ini cukup besar untuk mengembangkan lahan pertanian yang ada di Desa Lubuk Cuik, sehingga kesejahteraan petani dapat tercapai. Namun seiring berjalannya waktu, permasalahan klasik yang sering muncul adalah persoalan penanaman, budidaya, hama penyakit, dan persoalan seputar panen dan pasca panen.

“Dengan dukungan peralatan sensor tanah dan udara serta aplikasi RiTx Bertani membuat petani lebih mudah mengetahui kapan waktu yang tepat untuk menanam cabai, melakukan penyiraman, dan konsultasi pasca produksi. Kami berharap, keberadaan digital farming ini membantu petani dalam meningkatkan produktivitas tanaman cabai ke depannya,” kata Kamsir, Minggu (15/8/2021).

TEKNOLOGI SENSOR TANAH DAN UDARA - Petani menunjukkan alat sensor tanah dan udara (soil and weather wensor) melalui telepon seluler yang berisi aplikasi Pertanian Modern 4.0 teknologi RiTx di Dusun VI Desa Pematang Setrak, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdangbedagai, Sumatera Utara, Minggu (22/11/2020). (TRIBUN MEDAN/RISKI CAHYADI)

Parlan dan Kamsir mengatakan, pihaknya menyambut baik penerapan digital farming di wilayah mereka. Seiring dengan perkembangan teknologi, maka digital farming merupakan sebuah keharusan. Terkait ini, Parlan dan Kamsir berharap, agar lebih banyak lagi petani yang menerapkan digital farming ini.

“Sementara ini belum banyak petani yang menerapkannya. Di Sumatera Utara, masih hanya ada di Kabupaten Serdang Bedagai dan Batubara. Ke depannya, kami berharap, tiap kecamatan di Sumatera Utara yang memiliki lahan pertanian mempunyai perwakilan petani untuk menerapkan digital farming,” kata Parlan.

Sementara itu, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi mengatakan, pihaknya mendorong pemerintah kabupaten dan kota di Sumatra Utara untuk menerapkan digital farming kepada para pelaku pertanian. Selain untuk mengamankan pasokan pangan saat terjadi inflasi, digital farming ini juga akan mempercepat pemulihan ekonomi nasional dan penguatan daya beli masyarakat.

“Kebijakan pengendalian inflasi saat ini tidak hanya fokus terhadap upaya pengendalian harga tetapi juga menyasar pada daya beli masyarakat dan para produsen. Para produsen seperti petani harus dapat menerapkan digital farming sejak dini,” kata Edy, belum lama ini.

Berdasarkan data Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumut, diperoleh gambaran bahwa produksi padi di Sumatera Utara pada tahun 2020 dengan luas baku lahan sawah 368.830 hektare diperoleh produksi padi sebesar 4.200.112 ton gabah kering giling (GKG) atau setara 2.479.383 ton beras. Bila disandingkan jumlah penduduk provinsi Sumatera Utara sebesar 14.562.549 iwa, kebutuhan akan beras sebesar 1.957.882 ton beras. Dengan demikian masih ada surplus sebesar 521.501 ton.

Meski produksi di Sumut selalu surplus, kata Edy, Pemerintah Provinsi Sumut sudah menyiapkan berbagai inovasi agar dapat bertahan dan mengamankan pasokan pangan saat terjadi inflasi. Satu diantaranya adalah menerapkan program digital farming kepada para petani.

Menurut Edy, untuk tahap awal, digital farming dapat dimulai penerapannya di kelompok-kelompok tani yang berada di daerah yang potensi pertaniannya berlangsung baik. “Dengan begitu, aktivitas ekonomi mereka bisa tetap tumbuh dan berkembang,” ujarnya.

Kerjasama dengan Kementerian Kominfo

PERWAKILAN PT Mitra Sejahtera Membangun Bangsa (PT MSMB) Fitri Juniarti mengatakan, peralatan RiTx merupakan produk software yang berdiri sejak tahun 2018 dan berada di bawah naungan PT Mitra Sejahtera Membangun Bangsa (MSMB). Khusus untuk aplikasi RiTx Bertani, MSMB mengembangkannya dengan menjalin kerjasama bersama Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) untuk mendorong digital farming di berbagai wilayah Indonesia.

Fitri menjelaskan, RiTx Bertani memiliki konsep Smart Farming 4.0  dengan menggunakan alat sensor untuk melakukan pengambilan data secara real-time pada lahan pertanian dan perkebunan.

Data yang didapatkan berupa cuaca, suhu, kelembaban, kekuatan angin, hingga pH tanah dan kesuburan. Data tersebut selanjutnya menjadi informasi yang akurat bagi petani yang dapat diakses melalui aplikasi RiTx Bertani di ponsel android. Berdasarkan data yang diperoleh, petani akan lebih mudah mengetahui kapan cocoknya menambahkan air dan pupuk.

Selain itu, RiTx Bertani juga menyediakan fitur identifikasi hama menggunakan Artificial Intelligence (AI) dan fitur edukasi dari mulai proses tanam hingga end to market (proses penjualan hasil tani).

Sedangkan untuk peralatan sensor tanah dan udara yang mereka produksi, diharapkan membantu petani agar bertani dengan lebih presisi. Dengan peralatan sensor tanah dan udara ini, petani bida mendapatkan data kecepatan angin, arah angin, kelembapan udara, kelembapan tanah, pH, dan sebagainya. Data-data itu bisa diketahui petani dari aplikasi RiTx Bertani yang dapat diunduh di ponsel berbasis Android.

"RiTx Bertani adalah aplikasi yang membantu agar petani bisa bertani dengan lebih tepat. Jadi selama ini petani melakukan pemupukan seperti biasa saja tanpa tahu sebenarnya tanah tersebut butuh seberapa. Nah di aplikasi RiTx, petani cukup memasukkan data mengenai lahannya. Nantinya para petani akan diberitahukan kondisi lahannya seberapa banyak pupuk yang harus diberikan,” kata Fitri.

"Untuk efisiensi penyiraman, misalnya petani sudah melakukan penyiraman di lahan, ternyata malah hujan. Berarti kan enggak efektif. Dengan aplikasi ini, petani akan mendapatkan pemberitahuan misalnya besok akan hujan, jadi petani jangan melakukan penyiraman terlebih dahulu," katanya.

Jadi Daya Tarik Generasi Milenial

KEPALA Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian Universitas Katolik Santo Thomas Medan, Posman Sibuea mengatakan, ke depannya, keberadaan digital farming diharapkan tidak hanya membantu petani dalam meningkatkan produktivitas hasil pertanian saja. Lebih dari itu, digital farming diharapkan juga menjadi daya tarik bagi generasi milenial di Indonesia untuk tertarik berkarya di bidang pertanian.

“Sebagai pihak yang cepat mengadaptasi teknologi, maka keberadaan digital farming ini pun akan dengan mudah diadaptasi generasi milenial,” kata Posman Sibuea kepada Tribun-Medan.com, Jumat (20/8/2021).

Posman memaparkan, dari 35 juta petani di Indonesia saat ini, tak sampai dua juta generasi milenial di usia 25-39 tahun yang memilih menjadi petani. Karena itulah pemerintah diharapkan dapat memanfaatkan keberadan digital farming ini untuk menarik lebih banyak lagi generasi milenial berkarya di bidang pertanian.

“Pemerintah mendukung petani di berbagai daerah dengan menyediakan lebih banyak lagi peralatan digital farming. Selain itu bekerjasama dengan lebih banyak lagi institusi pertanian dan kalangan penyedia teknologi dalam menghasilkan teknologi digital farming yang lebih beragam,” ujarnya.

Posman menambahkan, keberadaan digital farming diharapkan dapat menjadi media informasi pascapanen. Melalui aplikasi-aplikasi pertanian, petani mendapatkan informasi harga produk pertanian terbaik di berbagai daerah. Misalnya saja, meskipun petani A berada di Kabupaten Deliserdang Sumatera Utara, tetapi dengan aplikasi pertanian, si petani A bisa mengakses informasi harga produk pertanian di Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

“Dengan begitu, petani bisa langsung menjualnya ke pasar tanpa melalui pengepul. Rantai pasokan tidak terlalu panjang, dan harga produk pertanian relatif tinggi,” katanya.

Posman menambahkan, sudah saatnya sektor pertanian di Indonesia mengadaptasi digital farming lebih luas lagi. “Kalau mau meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil pertanian, digital farming adalah salah satu jawabannya,” pungkas Posman.

Sumber: https://medan.tribunnews.com/

0 Response to "Digital Farming Minimalkan Risiko Gagal Panen, Tanam Padi dan Cabai Kini jadi Lebih Mudah"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel