Jeritan Petani Padi
Jakarta - Ibarat halilintar di siang bolong, petani se-Nusantara dikejutkan dengan adanya rencana impor beras 1 juta ton. Bagaimana tidak khawatir? Pertama, karena kalimat impor beras, bukanlah sebuah prestasi yang membanggakan bagi sebuah Pemerintahan. Impor pangan, termasuk beras, mestinya menjadi pilihan terakhir untuk diterapkan. Selama produksi di dalam negeri mencukupi kebutuhan, janganlah dilakukan impor.
Di benak petani, Pemerintahan yang sukses membangun pertanian adalah Pemerintah yang tidak menerapkan kebijakan impor beras. Kalau selama ini Pemerintah masih doyan menerapkan kebijakan impor beras, boleh jadi Pemerintah dibilang gagal dalam mewujudkan kemandirian pangan nya. Itu sebab nya, sah-sah saja bila para petani meminta Pemerintah mengkaji ulang lagi rencana untuk melakukan impor beras ini.
Kedua, saat ini para petani sedang bersiap-siap menyambut tiba nya panen raya. Di beberapa daerah, tampak petani sedang bersemangat menanti hasil panen nya. Kegairahan mereka wajar terjadi, karena banyak info yang disampaikan bahwa hasil panen padi petani bakal melimpah ruah sebagai hasil jerih payah mereka selama ini.
Petani merasa bersyukur, kiprah mereka selama ini mampu mendukung kebijakan Pemerintah yang berkehendak meningkatkan produksi setinggi-tinggi nya guna mewujudkan ketahanan pangan yang kokoh. Rasa syukur petani ini tentu akan lebih baik jika Pemerintah mampu membaca apa-apa yang menjadi harapan dan kebutuhan petani itu sendiri. Andai ini dapat dicernati dengan bijak oleh Pemerintah, maka impor beras, bukanlah sebuah jawaban cerdas.
Ketiga, sejak beberapa hari belakangan ini terekam di beberapa daerah, harga jual gabah di tingkat petani mengalami penurunan harga yang cukup signifikan. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah yang dipatok pada angka Rp. 4.200,- per kilogram, ternyata tidak mampu dijaga. Beredar kabar di beberapa sentra produksi padi, harga gabah yang terjadi dibawah angka HPP.
Anjlok nya harga gabah dinilai sebagai kekurang-sigapan Pemerintah dalam melindungi petani dari permainan para tengkulak yang doyan "mengatur" harga pada saat menjelang produksi melimpah. Pemerintah terkesan belum mampu menerapkan kebijakan deteksi dini dalam menghadapi panen raya padi, namun Pemerintah masih terpincut untuk menerapkan kebijakan sebagai pemadam kebakaran.
Keempat, ada kesan keputusan Pemerintah melakukan impor beras tidak melibatkan organisasi petani seperti KTNA. Akibat nya, suatu hal yang logis, bila KTNA pun menolak secara halus dengan rencana Pemerintah diatas. Muncul pandangan, rencana impor beras ini, sama sekali tidak mengikut-sertakan 'petani' dalam pembahasan nya. Ini yang memilukan.
Padahal, kalau Pemerintah mau berbagi pikir dan bersambung rasa dengan para petani, tidak mungkin bakal terjadi penolakan kebijakan semacam ini. Petani pasti akan menyarankan kepada Pemerintah dengan alasan-alasan yang argumentatif. Setidak-tidak nya petani akan bicara janganlah melakukan impor di saat petani sedang menghadapi panen raya. Petani akan lebih hormat kepada Pemerintah jika lahir kebijakan harga yang melindungi mereka di saat produksi melimpah ruah.
Kelima terkait dengan kualitas data produksi beras yang dimiliki. Beberapa pengamat masih ada yang meragukan keakuratan data produksi beras. Pil pahit terjadi nya penyimpangan produksi padi hingga 32 % sebagainana dipertontonkan perhitungan Kerangka Sampling Area oleh Badan Pusat Statistik, rupa nya masih berbekas kuat di dalam benak mereka.
Bayangkan, selama puluhan tahun kita disodori data yang menyenangkan dengan ada nya peningkatan produksi padi setiap tahun. Sayang nya dibalik hal yang demikian, terjadi kekeliruan perhitungan yang dilakukan. Apa yang dilakukan BPS dengan "memperbaharui" data nya sendiri ternyata telah menimbulkan beragam kegalauan, khusus nya bagi mereka yang menjadi pengambil kebijakan di daerah.
Beberapa daerah produsen padi yang selama ini bangga karena disebut sebagai lumbung padi nasional, seusai BPS mengumumkan hasil KSA, banyak Kepala Daerah yang mengerutkan dahi dan menjadi bertanya-tanya, mengapa hal semacan ini bisa terjadi.
Lebih sedih nya lagi, daerah yang semula surplus, kini berganti nama jadi defisit. Salah satu nya adalah Provinsi Jawa Barat yang selama puluhan tahun menjadi Lumbung Padi nasional. Yang semula surplus sekitar 2 juta ton, kini menjadi defisit 36.000 ton.
Jeritan petani yang menyayat hati, tentu akan dapat kita dengar bila sekarang berhadapan dengan petani padi di lapangan. Organisasi petani selevel KTNA yang selama ini terekam menjadi mitra setia Pemerintah dalam spirit untuk meningkatkan kesejahteraan petani, tampak terusik dengan ada nya rencana impor beras 1 juta ton.
KTNA terpaksa harus mengingatkan Pemerintah lewat rilis yang disampaikan kepada publik. Rilis yang ditanda-tangani Sekjen KTNA meminta agar Pemerintah mengkaji dan meninjau ulang keinginan nya untuk mengimpor beras 1 juta ton di saat panen raya padi akan berlangsung. Kegembiraan petani janganlah dinodai oleh kebijakan yang tidak senafas dengan suara hati para petani.
Sejak Presiden Jokowi menggaungkan tiga program besar dalam pembangunan pertanian ke depan, yakni pengembangan food estate, penguatan korporasi petani dan penciptaan lumbung pangan, sebetul nya para petani sangat menopang atas semangat yang demikian. Petani betul-betul merasa senang, manakala ada Kepala Negara yang sungguh-sungguh mencintai petani.
Rasa cinta semacam ini, pasti akan dijawab dengan kerja keras mereka. Petani tentu akan bekerja tanpa reserve untuk menggenjot produksi, sehingga terwujud swasembada. Hal ini penting kita catat, karena bila produksi meningkat secara signifikan, maka mesti nya kesejahteraan petani pun akan semakin meningkat.
Pertanyaan nya adalah apakah hasrat yang demikian dapat dibuktikan dalam kehidupan nyata di lapangan ? Jawaban atas pertanyaan inilah yang membutuhkan diskusi lebih dalam kagi.
Sumber: https://tabloidsinartani.com/
0 Response to "Jeritan Petani Padi"
Post a Comment